JAKARTA, PERISTIWAONLINE.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, karena dinilai mengancam kebebasan pers.
Selain itu menurut AJI revisi UU Penyiaran sekaligus mengambil alih kewenangan Dewan Pers (DP).
“AJI menolak ya. Pasal-pasalnya banyak bermasalah sebenarnya. Jadi kalau dipaksakan akan menimbulkan masalah. Ada beberapa pasal yang menurut kami mengancam kebebasan pers,” ujar Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardhana dalam konferensi pers di Sekretariat AJI Indonesia di Jakarta, Rabu (24/42024).
Bayu juga menilai proses penyusunan revisi UU ini tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Menurut Bayu, AJI baru mengetahui perihal draf revisi ini sekitar dua pekan sebelum Hari Raya Idulfitri 2024, sedangkan draf revisi tersebut tertanggal 2 Oktober 2023.
Tambah Bayu, bahwa draf revisi ini bahkan tidak ditayangkan dalam laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bayu berpandangan proses penyusunan revisi UU Penyiaran ini mirip seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU KPK yang diam-diam jadi dan dibawa ke paripurna.
Karenanya, Bayu pun mendorong agar proses revisi ini transparan dan terbuka bersama publik, ataupun minimal drafnya ditampilkan di laman resmi DPR agar bisa diakses publik.
Selain itu, Bayu juga menyoroti masa jabatan DPR saat ini yang tinggal beberapa bulan lagi. Oleh karena itu, Bayu menilai revisi UU ini mesti dibahas lebih mendalam dan di periode berikutnya.
Terdapat sejumlah pasal dalam draf revisi UU yang menjadi sorotan Bayu, di antaranya Pasal 56 ayat (2) yang mengandung larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini dinilai dapat mengancam kebebasan pers.
Bayu menduga itu merupakan upaya DPR, selaku pihak yang berinisiatif untuk revisi UU ini, agar tak ada penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” jelas Bayu.
Selain itu, Bayu juga menyinggung perluasan wewenang terkait penanganan sengketa jurnalistik yang diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut Bayu, hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan. Sebab, selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pers.
“Pada pasal 25 ayat (1) huruf q disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa
jurnalistik,” kata Bayu.
“Ini upaya untuk mengurangi kebebasan pers,” tambah Bayu.
Bayu berpandangan bahwa sengketa jurnalistik mestinya dipegang Dewan Pers seperti selama ini.
Selain itu, Bayu juga menyoroti Pasal 50 ayat (2) yang berbunyi “KPI menyusun, menetapkan, menerbitkan, dan menyosialisasikan P3 kepada Lembaga Penyiaran, Penyelenggara Platform Digital Penyiaran, dan masyarakat umum setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR”.
Bayu menilai KPI menjadi tidak independen lantaran mesti berkonsultasi dengan DPR terlebih dahulu ketika menyusun aturan.
“Padahal kan dia komisi negara ya, ketika dipilih ya sudah jalan saja, kenapa harus konsultasi oleh DPR. Ini kan kayak dipegang ekornya gitu ya. Nanti politik-politik lagi nantinya,” tutur dia.
Sebagai tindak lanjut, AJI pun berencana mengundang Komisi I DPR RI untuk berdiskusi perihal revisi UU Penyiaran ini.
“Kami ingin mungkin rencana terdekatnya adalah mengundang Komisi I untuk berdiskusilah. Kami adakan diskusi, sebenarnya ini bagaimana sih cara berpikirnya dan sebagainya, sambil mungkin proses audiensi itu bisa,” kata Bayu.
Tak hanya itu, Bayu juga berharap Dewan Pers akan bersuara terkait kebebasan pers dalam revisi UU ini. (YAT)