Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, PERISTIWAONLINE.COM – Mendengar berita tentang penyitaan uang korupsi yang pernah terjadi pada Bupati Indragiri Hulu sebesar Rp. 288 Miliar, saya jadi mengelus dada, kok bisa di negeri yang didiami penduduk yang semuanya beragama ini terjadi korupsi yang begitu dahsyat?.
Itu baru di satu kasus, di satu tempat, bagaimana dengan kasus-kasus korupsi yang jauh lebih besar lainnya, dan yang terjadi di masa Pemerintahan Jokowi? Seperti adanya kasus pencucian uang yang merugikan negara ratusan Triliun Rupiah dan uangnya dibuat foya-foya !.
Apakah karena sebagian orang yang masih mengagungkan pikiran sempitnya, bahwa membicarakan kesalahan orang itu merupakan perbuatan dosa, hingga kebanyakan orang memilih mingkem untuk tidak berani angkat bicara?.
Jika yang dibicarakan itu kesalahan orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nasib orang lain, terlebih nasib jutaan rakyat, hal itu bisa dibenarkan.
Namun bila kesalahan orang itu sudah berhubungan dengan nasib jutaan rakyat yang dimiskinkan dan ditenggelamkan hak-haknya, maka mingkem adalah suatu kesalahan fatal !.
Menjadi orang yang beragama tidak berarti kita harus apatis, tidak mau tahu soal keadaan bangsa dan negara, terlebih itu negara dan bangsa kita sendiri. Sebab jika itu yang terjadi maka, pemikiran Karl Marx menemukan kebenarannya. Apa itu?
Marx berkata,”Die Religion ist der Seufzer der bedraengten Kreatur, das Gemuet einer erzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustaende ist. Sie ist das Opium des Volkes”.
“(Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, nurani dunia yang tidak bernurani, nyawa keadaan yang tidak bernyawa. Ia adalah candu masyarakat)”.
Memperhatikan keadaan negeri seperti ini, saya juga merasa seolah ada kecendurangan yang sangat masif, dimana orang-orang sudah tidak lagi mempercayai Tuhan melainkan lebih mempercayai uang dan kepentingan.
Karenanya, selama orang masih dihujani Bansos dan kepentingan-kepentingan jangka pendeknya diakomudir, maka mereka menjadi permisif pada hal-hal yang berbau koruptif dan manipulatif, yang dilakukan oleh mereka yang pro oligarki dan pro penghancuran tatanan hukum dan demokrasi.
Memperhatikan kondisi masyarakat yang seperti itu, dahulu Friedrich Nietsche kemudian mengumandangkan pernyataannya yang sangat populer,”Tuhan telah mati ! Tuhan sudah kubunuh !”.
Padahal meskipun Nietsche seorang ateis, namun ateisnya Nietsche bukanlah pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan. Tetapi ateis yang melihat Tuhan sebagai musuh kebebasan dan penentu moralitas.
“Dengan mengesampingkan Tuhan, manusia memperoleh kebebasan untuk menentukan nilai, memilih baik dan buruk. Dalam bahasa Sartre, hanya dengan meniadakan Tuhan kita baru bertindak “otentik”. (Jalaluddin Rahmat, Agama Marx, O. Hashem, Nuansa Cendekia, Bandung 2021).
Mungkin karena hal yang seperti itu, dimana tafsir manusia beragama terhadap kitabnya tidak sesuai pada konteksnya, atau terjebak pada tekstualis semata, hingga ajaran-ajaran agama tak lagi membumi, Marx dan Nietsche marah dan mengambil inisiatif untuk membredel tuhan dalam perspektif pemikiran sempit manusia.
Padahal Tuhan sejatinya menurunkan firman-firman-Nya bukan untuk menjadikan manusia pasif, melainkan malah ingin menjadikan manusia lebih aktif, dinamis dan revolusioner dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Oleh sebab itu, jika ada segolongan orang-orang yang gemar membodohi, memiskinkan dan menenggelamkan hak-hak rakyat, harusnya dilawan dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas atau kemampuannya, demi tegaknya keadilan itu sendiri. Sapere aude ! Beranilah berpikir !…(SHE).
5 Desember 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer, Jurnalis, Analis Politik dan Aktivis ’98.