Beranda » Pakar BRIN Sebut ada 7 Kota di Jawa Berstatus ‘Merah’ Beresiko Gempa

Pakar BRIN Sebut ada 7 Kota di Jawa Berstatus ‘Merah’ Beresiko Gempa

JAKARTA, PERISTIWAONLINE.COM – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memaparkan tujuh kota terancam gempa yang merusak dan memicu banyak korban lantaran posisinya dekat dengan patahan atau sesar dan banyak penduduk.

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Nuraini Rahma Hanifa mengungkap daftar wilayah yang sangat berisiko gempa dengan banyak penduduk terpapar alias berwarna merah.

“Kalau potensi goncangannya tinggi dan penduduknya tinggi dia akan berwarna merah, jadi kalau kita melihat di sini Jakarta, Bogor, Sukabumi, Bandung kemudian ada Cirebon, Semarang, Surabaya,” ujarnya, Dalam acara diskusi daring bertajuk ‘Pemetaan Sesar Pulau Jawa Serta Mitigasi Risiko Bencana Geologi’ belum lama ini.

“Itu adalah yang kemungkinan potensi goncangannya bisa besar tapi jumlah penduduknya juga padat sehingga dia resikonya juga menjadi tinggi,” lanjut Nuraini.

Ia menjelaskan gempa dapat dikatakan bencana apabila lindu yang terjadi menyebabkan korban jiwa dan kerusakan (kerugian ekonomi), biasanya kerusakan pada bangunan.

“Tapi kalau kita bisa meminimalisir itu maka gempa bisa saja tidak menimbulkan bencana tersebut.”

Selain akibat jumlah penduduknya yang besar, tujuh wilayah tersebut memiliki potensi ancaman gempa tinggi lantaran Jawa dikepung oleh patahan aktif.

Hasil kajian BRIN juga mengungkap penambahan jumlah sesar aktif di Jawa yang terpetakan. Pada 2010, angkanya hanya enam sesar. Pada 2017, jumlahnya bertambah menjadi 31 sesar aktif. Tahun ini, angkanya melonjak menjadi 75 sesar aktif.

“Dari angka tersebut, yang sudah diketahui parameternya dengan baik tidak sampai 30 persen,” kata Nuraini.

Bandung, contohnya, yang dekat dengan Sesar Lembang.

Dalam acara yang sama, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, Rahmat Triyono, mengungkap tingkat keparahan gempa yang terjadi bila Sesar Lembang berguncang.

Patahan ini punya panjang 30 km dan potensi magnitudo maksimum 6,8.

“Kita skenariokan dengan kedalaman [pusat gempa]-nya 10 km, maka dampaknya kalau ini terjadi, di Bandung Barat, Kota Cimahi, Bandung, Purwakarta dengan skala MMI (Modified Mercalli intensity)-nya adalah VI sampai VII,” ujar Rahmat.

Skala MMI menggambarkan tingkat guncangan yang dirasakan. Makin tinggi angkanya, makin kencang getaran terasa.

MMI skala VII misalnya, berarti “tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Sedangkan pada bangunan yang konstruksinya kurang baik terjadi retak-retak bahkan hancur, cerobong asap pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan.”

Nurani pun mewanti-wanti masyarakat agar sebisa mungkin menghindari tinggal di atas sesar atau zona patahannya secara langsung atau yang berada di wilayah dengan batuan yang lunak.

Sebab, bahaya dari goncangan gempa pada bangunan yang tidak terlalu kuat akan membuat bangunan seketika runtuh begitu saja, serupa seperti ketika Gempa Cianjur (2022).

Sebagai langkah mitigasi untuk strukturalnya, saat ini BRIN dan Kementerian PUPR juga tengah menetapkan standar nasional untuk bangunan tahan gempa yang dikeluarkan pada 2017 dan sedang dalam tahap pemutakhiran untuk 2024.

Dalam hal ini, properti tahan gempa sesuai SNI bisa diaplikasikan pada bangunan gedung terbaru, namun untuk bangunan existing (lama), BRIN mengungkap perlu adanya riset lebih lanjut apakah diperlukan upaya retrofit bangunan atau tidak.

Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) sebelumnya juga mewanti-wanti dampak yang bisa ditimbulkan Sesar Lembang terhadap rumah-rumah di sekitar Bandung Raya. (ATH)

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KEATAS
Exit mobile version